Mewujudkan Keluarga Islami

 

Mewujudkan Keluarga Islami


Latar Belakang

            Nikah menurut bahasa mempunyai arti mengumpulkan, menggabungkan, menjodohkan atau bersenggama (wath‟i). Dalam istilah bahasa Indonesia sering disebut dengan “kawin”. Dalam pasal I Bab I, UU perkawinan NO 1 tahun 1974, perkawinan didefinisikan sebagai berikut: “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami istri, dengan tujuan membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”.

            Pernikahan adalah ikatan lahir batin antara seorang laki-laki dan perempuan dalam suatu rumah tangga berdasarkan kepada tuntunan agama. Ada juga yang mengartikan “suatu perjanjian atau aqad (ijab dan qabul) antara laki-laki perempuan untuk menghafalkan hubungan badaniyah sebagaimana suami istri yang sah yang mengandung syarat-syarat dan rukun-rukun yang ditentukan oleh syariat Islam”. Pernikahan merupakan salah satu asas pokok yang hidup terutama dalam pergaulan atau masyarakat yang sempurna.

            Pernikahan bukan hanya untuk mengatur kehidupan rumah tangga dan turunan saja, tetapi pernikahan itu dapat dipandang sebagai satu jalan menuju pintu perkenalan antara satu kaum dengan kaum yang lain, serta perkenalan itu akan menjadi jalan buat bertolong tolongan antara satu dengan yang lainnya.

Sedangkan hubungan antara seorang laki-laki dan perempuan merupakan tuntunan yang telah diciptakan oleh Allah SWT, serta Allah telah menghalalkan hubungan tersebut melalui jalan akad nikah. Pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang diatur dengan perkawinan ini akan membawa keharmonisan, keberkahan dan kesejahteraan baik bagi laki-laki maupun perempuan, bagi keturunan bahkan bagi masyarakat yang berada di sekeliling keduanya.

Tujuan

            Untuk memenuhi tugas besar UAS mata kuliah Pendidikan Agama Islam dan Etika. Dan untuk mempraktekkan dalam pembuatan makalah sehingga bermanfaat pada kehidupan di dunia kampus dan dunia kehidupan mendatang sebagai pedoman kehidupan nyata. Untuk mengerti dan memahami tentang arti, fungsi, tujuan, hikmah, hukum, rukun, syarat, dan hak kewajiban nikah.

Pembahasan

A.    Hukum Nikah

                             I.     Wajib

Pernikahan dapat menjadi wajib hukumnya jika seseorang telah memiliki kemampuan untuk berumah tangga, baik secara fisik maupun finansial, serta sulit baginya untuk menghindari zina. Orang tersebut diwajibkan menikah karena dikhawatirkan jika tidak, maka ia bisa melakukan perbuatan zina yang dilarang dalam Islam.

Sementara itu, hukum menikah bagi perempuan adalah wajib menurut Ibnu Arafah. Hal tersebut dikatakan wajib apabila seorang perempuan tidak mampu mencari nafkah bagi dirinya sendiri dan jalan satu-satunya, yakni dengan menikah.

 

                          II.     Sunnah

Menikah bisa dianjurkan atau disunahkan, termasuk bagi orang-orang yang memilih untuk tidak melakukannya. Hukum tersebut berlaku bagi seseorang yang sudah mampu menikah, namun tidak mampu menafkahi istri secara finansial. 

Dalam kondisi seperti ini, orang tersebut sebaiknya meminta petunjuk Allah dengan berikhtiar, beribadah dan berpuasa. Selain itu, bisa berdoa sampai Allah SWT memberi kemampuan kepada mereka dengan karunia-Nya.

Meskipun demikian, agama Islam selalu menganjurkan umatnya untuk menikah jika memang mampu sebab pernikahan termasuk salah satu ibadah. 

                       III.     Makruh

Hukum nikah bisa makruh apabila terjadi pada seseorang akan menikah, tetapi tidak berniat memiliki anak. Hal ini bisa terjadi karena faktor penyakit ataupun wataknya.

Dia juga tidak memiliki kemampuan untuk menafkahi istri dan keluarganya. Apabila jika dipaksakan untuk menikah, maka akan dikhawatirkan ia tak bisa memenuhi hak dan kewajibannya dalam menjalani kehidupan rumah tangga. 

                       IV.     Mubah

Menikah hukumnya mubah atau boleh dilakukan artinya seseorang yang menikah dengan tujuan hanya sekedar sekedar untuk memenuhi syahwatnya saja atau bersenang-senang,

Ia tidak berniat untuk membina rumah tangga sesuai syariat agama Islam, memiliki keturunan atau melindungi diri dari maksiat.

                          V.     Haram

Hukum nikah juga bisa menjadi haram apabila seseorang tidak memiliki kemampuan untuk menafkahi istrinya secara lahir batin. Contohnya saja tidak memiliki penghasilan dan tidak dapat melakukan hubungan seksual karena suatu alasan. 

Begitu juga pernikahan yang dilakukan dengan maksud untuk menganiaya, menyakiti dan menelantarkan pasangannya. Selain itu, pernikahan juga bisa diharamkan jika syarat sah dan kewajiban tidak terpenuhi bahkan dilanggar.

B.     Tujuan Pernikahan

1.      Menjalankan perintah allah, sesuai dalam QS an Nuur ayat 32 Allah memerintahkan hamba-Nya agar menikah dan tak mengkhawatirkan soal rezeki sebab Allah akan mencukupkannya.


وَأَنكِحُوا اْلأَيَامَى مِنكُمْ وَالصَّالِحِينَ مِنْ عِبَادِكُمْ وَإِمَآئِكُمْ إِن يَكُونُوا فُقَرَآءَ يُغْنِهِمُ اللهُ مِن فَضْلِهِ وَاللهُ وَاسِعٌ عَلِيمٌ

“Dan kawinkanlah orang-orang yang sendirian di antara kamu, dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hamba sahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yang perempuan. Jika mereka miskin, Allah akan memampukan mereka dengan karunia-Nya. Dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui.” (QS. An Nuur: 32)

2.      Menyempurnakan separuh agama, nikah berarti membentengi diri dari salah satunya, yaitu zina dengan kemaluan. Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah bersabda:

إِذَا تَزَوَّجَ العَبْدُ فَقَدْ كَمَّلَ نَصْفَ الدِّيْنِ ، فَلْيَتَّقِ اللهَ فِي النِّصْفِ البَاقِي

"Jika seseorang menikah, maka ia telah menyempurnakan separuh agamanya. Karenanya, bertakwalah pada Allah pada separuh yang lainnya.” (HR. Al Baihaqi).

3.      Melaksanakan sunnah rasul, dengan menikah kita telah melaksanakan salah satu perintah Rasulullah. Dari Aisyah R.A, ia berkata Rasulullah bersabda:


عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: قَالَ رَسُوْلُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “النِّكَاحُ مِنْ سُنَّتِيْ فَمَنْ لَمْ يَعْمَلْ بِسُنَّتِي فَلَيْسَ مِنِّي وَتَزَوَّجُوا فَإِنِّي مُكَاثِرٌ بِكُمْ الْأُمَمَ وَمَنْ كَانَ ذَا طَوْلٍ فَلْيَنْكِحْ وَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَعَلَيْهِ بِالصِّيَامِ فَإِنَّ الصَّوْمَ لَهُ وِجَاءٌ” رواه ابن ماجه

"Menikah itu termasuk dari sunnahku, siapa yang tidak mengamalkan sunnahku, maka ia tidak mengikuti jalanku. Menikahlah, karena sungguh aku membanggakan kalian atas umat-umat yang lainnya, siapa yang mempunyai kekayaan, maka menikahlah, dan siapa yang tidak mampu maka hendaklah ia berpuasa, karena sungguh puasa itu tameng baginya.” (HR. Ibnu Majah).

4.      Meningkatkan ibadah kepada Allah SWT, umah tangga adalah 'ladang' yang subur untuk kita beribadah dan beramal saleh. Bahkan, berhubungan suami istri termasuk ibadah (sedekah) yang bernilai pahala. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:


وَفِي بُضْعِ أَحَدِكُمْ صَدَقَةٌ، قَالُوْا: يَا رَسُوْلَ اللهِ، أَيَأْتِي أَحَدُنَا شَهْوَتَهُ وَيَكُوْنُ لَهُ فِيْهَا أَجْرٌ؟ قَالَ: أَرَأَيْتُمْ لَوْ وَضَعَهَا فِي حَرَامٍ، أَكَانَ عَلَيْهِ فِيْهَا وِزْرٌ؟ فَكَذَلِكَ إِذَا وَضَعَهَا فِي الْحَلاَلِ كَانَ لَهُ أَجْرٌ.

“… Seseorang di antara kalian bersetubuh dengan istrinya adalah sedekah!” (Mendengar sabda Rasulullah, para sahabat keheranan) lalu bertanya: ‘Wahai Rasulullah, apakah salah seorang dari kita melampiaskan syahwatnya terhadap istrinya akan mendapat pahala?’ Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam menjawab: ‘Bagaimana menurut kalian jika ia (seorang suami) bersetubuh dengan selain istrinya, bukankah ia berdosa? Begitu pula jika ia bersetubuh dengan istrinya (di tempat yang halal), dia akan memperoleh pahala’.” (HR. Bukhari dan Muslim).

5.      Membentengi diri dan menundukan pandangan, menikah dapar membuat lebih mudah menundukan pandangan sehingga lebih mudah terhindar dari zina
يَا مَعْشَرَ الشَّبَابِ مَنِ اسْتَطَاعَ مِنْكُمُ الْبَاءَةَ فَلْيَتَزَوَّجْ، فَإِنَّهُ أَغَضُّ لِلْبَصَرِ وَأَحْصَنُ لِلْفَرْجِ، وَمَنْ لَمْ يَسْتَطِعْ فَعَلَيْهِ بِالصَّوْمِ فَإِنَّهُ لَهُ وِجَاءٌ.

“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah, karena nikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa), karena shaum itu dapat membentengi dirinya.” (HR. Bukhari, Muslim, Tirmidzi, dan lainnya).

6.      Mendapatkan ketenangan hati, menikah akan membuat seseorang mereasakan ketenangan hati dan ketentraman jiwa. Hal tersebut tertuang dalam firman Allah Taala dalam Q.S Ar Ruum ayat 21

وَمِنْ ءَايَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُم مِّنْ أَنفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِّتَسْكُنُوا إِلَيْهَا

“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya.” (QS. Ar-Ruum: 21).

7.      Memiliki keturunan yang shaleh, menikah dengan tujuan untuk memiliki keturunan yang shaleh merupakan perintah allah, sebagaimana firman allah Q.s An Nahl ayat 72:

وَاللَّهُ جَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا وَجَعَلَ لَكُمْ مِنْ أَزْوَاجِكُمْ بَنِينَ وَحَفَدَةً وَرَزَقَكُمْ مِنَ الطَّيِّبَاتِ ۚ أَفَبِالْبَاطِلِ يُؤْمِنُونَ وَبِنِعْمَتِ اللَّهِ هُمْ يَكْفُرُونَ

"Dan Allah menjadikan bagimu pasangan (suami atau istri) dari jenis kamu sendiri dan menjadikan anak dan cucu bagimu dari pasanganmu, serta memberimu rizki dari yang baik. Mengapa mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah?” (QS. An-Nahl: 72).

C.    Hikmah dari Pernikahan

·         Cara yang halal dan suci untuk menyalurkan nafsu syahwat melalui ini selain lewat perzinahan, pelacuran, dan lain sebagainya yang dibenci Allah dan amat merugikan.

·         Untuk memperoleh ketenangan hidup, kasih sayang dan ketenteraman

·         Memelihara kesucian diri

·         Melaksanakan tuntutan syariat

·         Membuat keturunan yang berguna bagi agama, bangsa dan negara.

·         Sebagai media pendidikan: Islam begitu teliti dalam menyediakan lingkungan yang sehat untuk membesarkan anak-anak. Anak-anak yang dibesarkan tanpa orang tua akan memudahkan untuk membuat sang anak terjerumus dalam kegiatan tidak bermoral. Oleh karena itu, institusi kekeluargaan yang direkomendasikan Islam terlihat tidak terlalu sulit serta sesuai sebagai petunjuk dan pedoman pada anak-anak

·         Mewujudkan kerjasama dan tanggungjawab

·         Dapat mengeratkan silaturahim

D.    Penyebab Haramnya Sebuah Pernikahan

Ø  Perempuan yang diharamkan menikah oleh laki-laki disebabkan karena keturunannya (haram selamanya) serta dijelaskan dalam surah an-Nisa: Ayat 23 yang berbunyi, “Diharamkan kepada kamu menikahi ibumu, anakmu, saudaramu, anak saudara perempuan bagi saudara laki-laki, dan anak saudara perempuan bagi saudara perempuan.”:

·         Ibu

·         Nenek dari ibu maupun bapak

·         Anak perempuan & keturunannya

·         Saudara perempuan segaris atau satu bapak atau satu ibu

·         Anak perempuan kepada saudara lelaki mahupun perempuan, uaitu semua anak saudara perempuan

Ø  Perempuan yang diharamkan menikah oleh laki-laki disebabkan oleh susuan ialah:

·         Ibu susuan

·         Nenek dari saudara ibu susuan

·         Saudara perempuan susuan

·         Anak perempuan kepada saudara susuan laki-laki atau perempuan

·         Sepupu dari ibu susuan atau bapak susuan

Ø  Perempuan muhrim bagi laki-laki karena persemendaan ialah:

·         Ibu mertua

·         Ibu tiri

·         Nenek tiri

·         Menantu perempuan

·         Anak tiri perempuan dan keturunannya

·         Adik ipar perempuan dan keturunannya

·         Sepupu dari saudara istri

Ø  Anak saudara perempuan dari istri dan keturunannya

Ø  Perempuan yang masih dalam waktu masaiddah.

 

E.     Peminangan (Khitbah)

Meminang merupakan sekadar sebuah komitmen (wa’d) atas kesungguhan untuk membangun sebuah keluarga bersama. Oleh sebab itu, peminangan tidak mengubah serta mengandung konsekuensi hukum apa pun dan juga tidak mengikat. Dalam arti, kedua belah pihak sewaktu-waktu boleh dan bebas memilih melanjutkan ke jenjang pernikahan atau membatalkannya.

Hukum dan legasi peminangan yaitu:

Legislasi peminangan dalam Islam diekstrak pada dalil al-Qur’an, as-Sunnah, dan Ijmak. Dalam al-Qur’an, Allah Swt. menegaskan:

   وَلَا جُنَاحَ عَلَیۡكُمۡ فِیمَا عَرَّضۡتُم بِهِۦ مِنۡ خِطۡبَةِ ٱلنِّسَاۤءِ أَوۡ أَكۡنَنتُمۡ فِیۤ أَنفُسِكُمۡۚ

“Dan tidak ada dosa bagimu meminang perempuan-perempuan itu dengan sindiran atau kamu sembunyikan (keinginanmu) dalam hati.” 

(QS al-Baqarah [2]: 235)

Dalam hadis, Rasulullah bersabda:

اذا خطب أحدكم المرأة فإن استطاع أن ينظر إلى ما يدعوه إلى نكاحها فليفعل

“Jika kalian meminang seorang perempuan, jika mampu melihat sesuatu yang dapat membuat termotivasi menikahinya maka lakukanlah.”

(HR Abu Dawud)

F.     Rukun Nikah

·         Terdapat calon pengantin laki laki dan perempuan yang tidak terhalang secara syar’i untuk menikah.

·         Ada wali dari calon pengantin perempuan.

·         Dihadiri dua orang saksi laki laki yang adil untuk menyaksikan sah tidaknya pernikahan.

·         Diucapkannya ijab dari pihak wali pengantin perempuan atau yang mewakilinya.

·         Diucabkannya qabul dari pengantin laki laki.

 

G.    Syarat Calon Suami

·         Beragama islam

·         Laki-laki yang tertentu

·         Bukan lelaki muhrim dengan calon istri

·         Mengetahui wali yang sebenarnya bagi akad nikah tersebut

·         Bukan dalam ihram haji atau umroh

·         Dengan kerelaan sendiri dan bukan paksaan

·         Tidak mempunyai empat orang istri yang sah dalam suatu waktu

·         Mengetahui bahwa perempuan yang hendak dinikahi adalah sah dijadikan istri

 

H.    Syarat Calon Istri

·         Islam

·         Perempuan yang tertentu

·         Bukan perempuan muhrim dengan calon suami

·         Bukan seorang banci

·         Bukan dalam ihram haji atau umroh

·         Tidak dalam iddah

·         Bukan istri orang

I.       Wali

Wali nikah adalah pihak dari laki-laki dari keluarga mempelai wanita yang memiliki tugas untuk mengawasi kondisi mempelai saat pernikahan berlangsung.

Syarat wali nikah:

1.    Beragama Islam                                                                              
Seorang wali nikah haruslah muslim. Oleh karena itu, jika ia kafir, maka pernikahan tidak sah, kecuali dalam keadaan-keadaan tertentu.

2.    Baligh
Wali nikah harus baligh yang mana bisa bertanggung jawab untuk urusan orang lain, termasuk menikahkan perempuan perwaliannya.

3.    Berakal Sehat
Berakal sehat ini berarti tidak memiliki gangguan jiwa dan tidak dalam keadaan mabuk.

4.    Laki-laki
Laki-laki menjadi syarat utama sebagai wali nikah.

5.    Adil
Adil artinya orang yang dapat menjaga diri, kehormatan dan martabat keluarganya

Jenis jenis wali:

·      Wali Nasab

Urutan wali nasab:

Ø Wali Arab

o   Ayah

o   Kakek

Ø Wali Ab’ad

o   Ayah dari kakek

o   Saudara laki laki kandung

o   Saudara laki laki seayah

o   Anak laki laki dari saudara kandung laki laki

o   Anak laki laki dari saudara laki laki seayah

o   Paman

o   Anak paman

o   Cucu paman

 

·      Wali Mu’thiq

Wali mu’thiq adalah orang yang menjadi wali terhadap perempuan bekas hamba sahaya yang dimerdekannya

 

·      Wali Hakim

Wali hakim adalah orang yang menjadi wali sebagai hakim atau penguasa yang diangkat oleh negara yang telah ditauliyahkan sebagai wali hakim.

 

·      Wali Muhakam

Wali muhakam adalah orang yang diangkat oleh kedua calon mempelai untuk bertindak sebagai wali dalam akad nikah mereka. Apabila suatu pernikahan yang seharusnya dilaksanakan dengan wali hakim, padahal di tempat itu tidak ada wali hakim, maka pernikahan dilangsungkan dengan wali muhakam.

J.      Saksi Pernikahan

Saksi adalah orang yang meyaksikan itu yang memberi tahukan apa yang dilihat atau yang disaksikan. Saksi nikah berjumlah 2 orang laki laki dari pihak kedua mempelai yang dapat dipercaya untuk menjadi seorang saksi. Jika tidak adanya saksi dalam pernikahan maka pernikahan tersebut dianggap tidak sah dimata hukum dan agama.

Syarat saksi penikahan:

·         Beragama islam

Sudah menjadi kesepakatan ulama bahwa saksi akad harus beragama islam, jika saksi tidak beragama islam maka orang tersebut tidak boleh menjadi sorang saksi, kecuali dalam kodisi mendesak.

·         Balligh

Dewasa atau baligh merupakan salah satu syarat saksi nikah karena anak kecil walaupun sudah tamuiz tidak boleh menjadi saksi nikah. Ukuran enjadi saksi nikah adalah mampu berfikir dan bertindak secara sadar dan baik.

·         Berakal sehat

Saksi nikah tidak boleh sedang mengalami penyakit jiwa atau gila, yang menghilangkan akal saat dalam acara akad tersebut.

·         Merdeka

Artinya seseorang yang tidak menjadi budak dari orang lain, karena budak tidak bisa bertindak sendiri dan ada dibawah kekuasaan orang lain.

·         Laki laki

Jumhur ulama dari berbagai mazhab telah sepakat mensyaratkan saksi nikah harus seorang laki laki.

·         Adil

Imam Asy-Syafi‘i meriwayatkan hadits perihal adil ini, “Tidak sah pernikahan kecuali dengan wali yang mursyid. Dijelaskannya, maksud mursyid dalam hadits tersebut adalah adil dan tidak fasik.” Selain bersifat adil saksi harus Amanah dengan persaksian tersebut .          

K.    Ijab dan Qobul

Ijab qobul merupakan perjanjian yang dilakukan dalam suatu pernikahan sebagai ikatan pria dan Wanita, jadi pembacaan ijab qobul tidak boleh ada kesalahan, karena merupakan sebuah kegiatan yang sacral.

Syarat ijab:

·         Pernikahan hendak tepat

·         Tidak bileh menggunakan perkataan sindiran

·         Diucapkan oleh wali atau wakilnya

·         Tidak diikatkan dengan tempo waktu seperti mutaah (nikah kontrak)

·         Tidak secara taklik (tidak ada sebutan prasyrat sewaktu ijab dilafalkan)

 

Kalimat ijab yang diucapkan wali nikah:

أنكحتك وزوجتك مخطوبتك بنتي ________ على المهر _____ حالا

Latin: Ankahtuka wazawwajtuka makhtubataka binti ________ alal mahri _______ haalan.

Artinya: “Aku nikahkan engkau, dan aku kawinkan engkau dengan pinanganmu, puteriku ______ dengan mahar _______ dibayar tunai.”

Syarat qobul:

 

·         Perkataan qobul harus sesuai dengan ucapan ijab.

·         Kata yang digunakan tidak boleh mengandung kata sindiran.

·         Diucapkan oleh calon pengantin pria, jika calon pengantin pria tidak dapat berbicara boleh diwakilkan.

·         Tidak boleh dikaitkan pada waktu tertentu (nikah mut’ah).

·         Tidak memiliki persyaratan pada saat qobul diucapkan.

·         Harus menyebutkan nama calon istrinya beserta bintinya.

Kalimat qobul yang di ucapkan mempelai laki laki:

 قَبِلْتُ نِكَاحَهَا وَتَزْوِيْجَهَا بِالْمَهْرِ المَذْكُوْرِ حَالاً

LatinQobiltu nikahaha wa tazwijaha bil mahril madzkur haalan.

Artinya: “Saya terima nikah dan kawinnya dengan mahar yang telah disebutkan.”

Selain itu juga dapat menggunakan kalimat ini:

قَبِلْتُ نِكَاحَهَا وَتَزْوِيْجَهَا عَلَى الْمَهْرِ الْمَذْكُوْرِ وَرَضِيْتُ بِهِ وَاللهُ وَلِيُّ التَّوْفِيْقِ

Latin: Qobiltu nikahaha wa tazwijaha alal mahril madzkur wa radhitu bihi, wallahu waliyu taufiq.

Artinya: “Saya terima nikah dan kawinnya dengan mahar yang telah disebutkan, dan aku rela dengan hal itu. Dan semoga Allah selalu memberikan anugerah.”

Doa penikahan

Setelah selesai mengucap ijab kabul, mempelai pria biasanya disarankan untuk memegang ubun-ubun istrinya sambil membaca doa setelah akad sebagai berikut:

"Allahumma inni as’aluka min khoirihaa wa khoirimaa jabaltahaa ‘alaih. Wa a’udzubika min syarrihaa wa syarrimaa jabaltaha ‘alaih."

Artinya: ya Allah, sesungguhnya aku mohon kepada-Mu kebaikan dirinya dan kebaikan yang Engkau tentukan atas dirinya. Dan Aku berlindung kepada-Mu dari kejelekannya dan kejelekan yang Engkau tetapkan atas dirinya.

L.     Wakil Wali / Qadi

Wakil wali atau qadi adalah orang yang dipertanggungjawabkan oleh institusi masjid atau jabatan atau pusat Islam untuk menerima tuntutan para Wali untuk menikahkan/mengahwinkan bakal istri dengan bakal suami.qadi bertanggung jawab atas menyempurnakan dokumen dokumen berkaitan pernikahan, seperti  sertifikat pernikahan dan pengesahan suami istri di pihak tertinggi seperti mentri agama dan administratif negara.

M.   Hak dan Kewajiban Suami dan Istri

Ø  Hak suami atas istri

·         Istri menjaga diri sendiri dan harta suami.

·         Ditaati dalam hal hal yang tidak maksiat.

·         Menjauhkan diri dari mencampuri sesuatu yang dapt menyusahkan suami.

·         Tidak bermuka masam dihadapan suami.

·         Tidak menunjukan keadaan yang tidak disenangi oleh suami.

Ø  Kewajiban suami terhadap istri

·         Membimbing istri dan rumah tangga.

·         Melindungi istri.

·         Memberi Pendidikan agama dan kesempatan belajar kepada istri.

·         Menanggung nafkah, kiswah, kediaman, biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan untuk istri dan anak.

Ø Hak isrti atas suami

·      Mendapat makanan ketika suami makan.

·      Memperoleh pakaian ketika suami berpakaian.

·      Tidak dipukul di bagian wajah.

·      Tidak diolok-olok.

·      Tidak dipisah (al-hajr) kecuali pisah ranjang.

Hak mahar: harta yang wajib diberikan kepada istri ketika akad nikah.

Hak mut'ah: sesuatu yang bisa dinikmati atau dimanfaatkan. Harta ini diberikan suami kepada istri yang diceraikan.

Ø Kewajiban istri terhadap suami

·         Pandai mengambil hati suami lewat makanan dan minuman.

·         Mengatur rumah dengan baik.

·         Menghormati keluarga suami.

·         Bersikap sopan dan penuh senyum pada suami.

·         Taat dan patuh kepada suami.

·         Tidak mempersulit suami.

·         Ridha dan syukur atas pemberian suami.

·         Selalu berhemat dan gemar menabung.

·         Selalu bersolek untuk atau di hadapan suami.

·         Tidak selalu cemburu buta.

 

 KLIK : PPT Materi

 

 

 


 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

MEDIA PEMBELAJARAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

MA'RIFATULLAH, MA'RIFATUL ROSUL DAN TAKDIR

AKHLAK UKHUWAH DAN TASAMUH